Pitutur Padi”
Semula aku adalah benih yang kau semai dengan doa-doa lirih
lalu hujan jatuh berderak mengajak cangkulmu menyalami sawah sepetak
hingga kau pun rela bergelung dalam saung-sinung menjagaku dari sergapan hama wereng hingga belitan benalu
agar tubuhku mumpuni tumbuh merunduk meninggi merunduk meninggi menaungi isi
mangajar ilmu hidup yang hakiki yang sabar kau hirup lewat harum jerami
lalu musim berganti Tuhan me-rahmati
mengisi celung lesungmu dengan biji-bijiku yang serupa bentuk
benih-benih yang kau semai dengan serbuk-serbuk doa yang tawadu’
Jakarta, 05 Januari 2011 (29 Muharram 1432 H)
“Bersepi di mimpi”
Dari setangkai sunyi mekarlah sekelopak sepi mengabarimu perihal mimpi
mimpi yang serupa kelana burungburung merubung pagi hingga petang menabur kidung
dari akar malam tumbuhlah batangbatang kelam merimbuni relungrelung suram
lalu dari cungkup samudra ombak menggulung deru angin menajamkan beliung melesatkan sepi memintasi lembah dan gunung
menuju puncak tertinggi: tempat bagi segala mimpi dan nyeri bergantung
Jakarta, Maret 2011 (Rabi’ul Akhir 1432 H)
“Kisahmu”
Dan tibalah musim itu bumi diselimuti salju, katamu hanya wajah-wajah dingin dalam mantel-mantel tebal berbulu berkelebat ke segala arah mencari anggur yang tumpah Jakarta, 30 Maret 2011 (25 Rabi’ul Akhir 1432 H)
“Jamak”
Sungguh aku tak hendak memintamu banyak hanya mengerti rindu yang kusamak dalam sajak seperti malam yang perlahan merangkak mengajar fajar lembut menanjak ke ubun matahari: merimbunkan awan berarak untuk kemudian pecah menjadi sedan yang menitisi pundak membuat rindu menjadi detak yang tak henti menangisi jarak dan gemuruh laut menyuguhkan maut lewat amuk ombak hingga angin sontak berderak menggigilkan dedaun dan kelopak berteriak, memanggil cintamu dan hatiku yang retak
Jakarta, April 2011 (Jumadil Awal 1432 H)
“Sependar Memoar“
-Rosihan Anwar-
Kata-kata telah menjalar menjadi getar mengakar dalam darah dan jantungmu menyeru-deru dari waktu ke waktu
rembulan belumlah genap purnama namun tak perlu kami bertanya sebab apa penamu menetaskan cahaya
debu-debu pun turut meniti nyeri ketika semua musim adalah karibmu menata hati di ruang-ruang senja obituari
oh, kini kami memaknainya sebagai musim gugur serambi, pintu, jendela selebarnya kami buka guna melambai melepas ribuan doa agar hati kami senantiasa tugur pada tanah, pada sejarah: dimana rampai bunga bertabur mencatatkan kata dan namamu yang telah luhur
Jum’at, 15 April 2011 (Jumadil Awal 1432 H)
sumber : kompas.com